Bunian entiti ghaib yang berbeza daripada jin — suatu dapatan dari kajian pengamal pengubatan
Dalam khazanah kepercayaan tradisional di Nusantara, khususnya di Malaysia, konsep mengenai makhluk ghaib adalah sesuatu yang kaya dan pelbagai. Di antara entiti-entiti yang dipercayai wujud, bunian memegang tempat yang unik dalam narasi rakyat. Seringkali digambarkan sebagai makhluk halus yang mendiami alam yang selari dengan dunia manusia, bunian dikaitkan dengan kawasan-kawasan sunyi, hutan belantara, dan pergunungan. Namun, satu pandangan penting muncul, menantang pengkategorian lazim yang menyamakan bunian dengan jin, sebuah entiti yang lebih dikenal dalam tradisi keagamaan dan budaya yang lebih luas.
Perspektif ini berakar umbi daripada interaksi dan diskusi langsung dengan entiti yang diidentifikasi sebagai bunian. Berdasarkan pengalaman ini, jelaslah bahawa bunian tidak menerima dan bahkan menyanggah keras anggapan manusia yang menggolongkan mereka sebagai jin. Menurut pandangan mereka, penyamaan ini adalah satu kekeliruan yang fundamental, kerana bunian memiliki sifat, asal-usul, dan tujuan kewujudan yang berbeza secara signifikan daripada jin.
Kekeliruan ini dipercayai bermula apabila pemahaman dan narasi mengenai bunian secara automatik diletakkan di bawah payung konsep jin. Sedangkan, jika diteliti dengan lebih mendalam, karakteristik dan esensi bunian menunjukkan perbedaan yang jelas dengan makhluk-makhluk ghaib lain yang secara tradisional diklasifikasikan sebagai jin. Perbedaan ini bukan hanya sekadar variasi kecil, tetapi melibatkan aspek ontologis yang mendasar.
Salah satu poin krusial dalam argumen ini adalah penolakan tegas dari pihak bunian itu sendiri. Dalam komunikasi yang terjalin, entiti bunian ini menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap penyamaan identiti mereka dengan jin. Mereka memandang diri mereka sebagai entiti yang unik, dengan kedudukan dan peran tersendiri dalam tatanan alam ghaib yang tidak dapat direduksi menjadi kategori jin. Penolakan ini bukan sekadar masalah semantik, tetapi mencerminkan perbedaan esensial dalam kewujudan mereka.
Implikasi dari penyamaan yang tidak tepat ini sangatlah luas. Apabila bunian dianggap sebagai jin, maka secara tidak langsung, segala hukum, pemahaman, dan dalil-dalil agama yang secara spesifik merujuk kepada jin turut diaplikasikan kepada bunian. Tindakan ini dianggap tidak adil dan tidak berdasar, kerana karakteristik, tanggung jawab, dan bahkan potensi interaksi bunian dengan alam manusia mungkin sangat berbeza dengan apa yang digariskan untuk jin dalam ajaran agama. Mengaplikasikan aturan yang sama kepada entiti yang berbeda hanya karena keduanya tidak tampak oleh mata kasar adalah sebuah simplifikasi yang berlebihan dan berpotensi menyesatkan.
Lebih lanjut, perspektif global mengenai bunian memberikan dimensi yang menarik dalam perdebatan ini. Sementara istilah “bunian” cukup lazim di Nusantara, para ulama dan sarjana di dunia Arab dilaporkan tidak memiliki padanan nama yang spesifik untuk entiti yang sama. Ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah bunian adalah fenomena lokal yang terbatas di wilayah Asia Tenggara, ataukah mereka wujud di seluruh dunia namun dikenal dengan nama yang berbeda dalam budaya dan bahasa yang berlainan? Menurut informasi yang diperoleh dari diskusi dengan bunian, mereka diyakini hidup di berbagai penjuru dunia, bahkan memiliki struktur sosial dan pemerintahan yang kompleks, dengan pusat kekuasaan mereka terletak di Rusia. Jika klaim ini benar, maka penyamaan mereka dengan konsep jin yang telah mapan dalam tradisi keislaman menjadi semakin problematik dan memerlukan kajian ulang. Ketiadaan nomenklatur yang jelas dalam tradisi Arab mungkin mengindikasikan bahwa bunian adalah kategori makhluk ghaib yang berbeda dan tidak termasuk dalam klasifikasi jin yang dikenal secara umum.
Kesalahan dalam mengidentifikasi bunian ini diyakini membawa dampak negatif terhadap hubungan antara manusia dan bunian. Merasa tidak dipahami dan disamakan dengan entiti lain yang mungkin memiliki konotasi negatif atau stereotip yang berbeda dapat menumbuhkan rasa curiga, menjaga jarak, dan bahkan berpotensi menimbulkan konflik yang tidak perlu. Kepercayaan yang keliru ini dapat menghambat potensi interaksi yang positif atau saling menguntungkan antara kedua alam.
Selain itu, terdapat pula miskonsepsi yang meluas mengenai habitat bunian. Gambaran umum seringkali melukiskan bunian sebagai makhluk yang mendiami hutan rimba yang lebat, puncak gunung yang terpencil, atau kawasan sunyi yang jauh dari peradaban manusia. Namun, berdasarkan diskusi yang dilakukan, pandangan ini juga tidak sepenuhnya akurat. Bunian tidak menjadikan tempat-tempat liar tersebut sebagai kediaman utama mereka. Sebaliknya, mereka hanya sesekali mengunjungi kawasan hutan untuk mencari tempat peristirahatan yang tenang dan jauh dari kebisingan serta gangguan aktivitas manusia. Ini menyiratkan bahwa kehidupan dan keberadaan bunian mungkin lebih dekat dengan dunia manusia daripada yang selama ini kita sangka, hanya saja mereka hidup dalam dimensi atau alam yang berbeda yang tidak selalu dapat kita akses atau pahami secara langsung. Mungkin saja mereka hidup berdampingan, namun terpisah oleh lapisan realiti yang berbeda.
Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih akurat dan komprehensif tentang bunian, diperlukan keterbukaan pikiran dan kemauan untuk mempertimbangkan perspektif yang berbeda. Kita perlu melampaui batasan kerangka pemikiran yang sempit dan bersedia mengakui bahwa alam ghaib mungkin jauh lebih beragam dan kompleks daripada yang selama ini kita pahami. Diskusi dan interaksi dengan entiti seperti bunian, jika memang memungkinkan dan dapat diverifikasi, dapat memberikan wawasan yang berharga dan menantang asumsi-asumsi yang telah lama kita pegang teguh.
Sebagai kesimpulan, pandangan yang menyatakan bahwa bunian bukanlah jin adalah sebuah perspektif yang penting dan memerlukan pertimbangan yang serius. Perbedaan mendasar dalam sifat dan karakteristik, penolakan dari pihak bunian sendiri, ketiadaan nama khusus dalam tradisi Arab, serta kesalahpahaman mengenai habitat mereka adalah poin-poin krusial yang mendukung argumen ini. Dengan memahami perbedaan ini, kita dapat menghindari generalisasi yang keliru dan membangun pemahaman yang lebih nuansif tentang keragaman makhluk ghaib yang mungkin wujud di sekitar kita. Hal ini juga berpotensi memperbaiki hubungan antara alam manusia dan alam bunian, yang selama ini mungkin terhalang oleh kesalahpahaman dan ketidaktepatan dalam mengidentifikasi mereka. Penelitian dan dialog lebih lanjut, dengan menghormati perspektif dari berbagai pihak, diperlukan untuk mengurai kekeliruan identitas ini dan membuka jalan bagi pemahaman yang lebih mendalam tentang alam ghaib secara keseluruhan.
Dr Abdy
Ahli berdaftar GPMM

